PERNIKAHAN SESAMA JENIS BERTENTANGAN DENGAN ALKITAB
Menanggapi
keputusan SCOTUS baru-baru
ini yang mengakui pernikahan sesama jenis sebagai bagian dari hak semua warga
AS, saya akan memberikan tanggapan, dan juga menyampaikan apa yang saya rasa
merupakan kebutuhan mendesak bagi gereja di Indonesia untuk menyikapi dan
menetapkan posisi mereka yang jelas dan tanpa kompromi yang sedang diajarkan
kepada generasi ini.
Saya
percaya akan apa yang saya sebut dengan “Cetak Biru Sang Pencipta” mengenai
pernikahan dan keluarga. “Cetak Biru Sang Pencipta” ini membawa kita kembali ke
Kitab Kejadian, dimana Tuhan menciptakan Adam di Taman Eden. Ayat ini hadir
sebelum ayat-ayat lainnya tentang seksualitas dan pernikahan yang seringkali
dikutip yang biasanya diambil dari Imamat, Injil, dan surat-surat Rasul Paulus.
Di ayat ini dikatakan bahwa Tuhan membuat Adam tertidur, mengambil salah satu
rusuk dari padanya, dan dari rusuk yang diambil-Nya itu Tuhan menciptakan
seorang ‘penolong’ untuk Adam. Penolong ini adalah seorang wanita dan Adam
menamainya Hawa.
Perhatikan Kejadian 2:22-25:
Dan
dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang
perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.
Lalu
berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari
dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki."
Sebab
itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan
isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
Mereka
keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.
Di
sinilah cetak biru itu diberikan, ‘laki-laki…bersatu dengan isterinya, sehingga
keduanya menjadi satu daging’. Di sini saya ingin menegaskan bahwa tidak
ada ‘Steve’ yang disediakan untuk Adam di taman itu; yang ada hanya ‘Eve’
(bahasa Indonesia: Hawa).
Kemudian
Tuhan memberikan berkat dan perintah kepada Adam dan Hawa. “Allah memberkati
mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah
banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu.”” (Kejadian 1:28)
Berkat
ilahi ini dicurahkan kepada laki-laki itu dan isterinya!
Kemudian, perintah
ilahi dengan jelas memaparkan Cetak Biru Sang Pencipta untuk pernikahan dan
keluarga. Diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, manusia dan istrinya
itu pun diperintahkan untuk berkembangbiak dan memenuhi bumi. Ketika mereka
mengikuti pola yang diperintahkan Tuhan mengenai hidup dan pernikahan, maka
Tuhan akan memberkati mereka dengan otoritas untuk menaklukkan bumi. Di
keseluruhan Alkitab kita bisa menemukan ayat yang merujuk pada penyatuan kudus
antara seorang pria dan istrinya. Mari kita lihat apa yang Yesus katakan di
dalam Kitab Markus, ketika dia berbicara kepada orang-orang Farisi.
Sebab
pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu
laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua,
melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia." (Markus 10:6-9)
Yesus
membuat beberapa pernyataan yang sangat jelas, yakni bahwa
1) Allah
menjadikan mereka laki-laki dan perempuan sejak mulanya.
2) Laki-laki
akan bersatu dengan isterinya.
3) Bagi Tuhan penyatuan ini kudus,
dipersatukan oleh-Nya.
Tidak
ada bagian dari pernyataan Yesus yang bisa disalahpahami. Dia, Firman yang
menjadi daging, kembali menyatakan Cetak Biru Sang Pencipta bagi kehidupan dan
keluarga.
Rasul
Paulus membahasnya lebih dalam lagi, bukan hanya menerangkan tanggung jawab
pernikahan yang harus diemban oleh suami dan istri, namun ia juga dengan jelas
menyampaikan batasan-batasan moral yang harus dipatuhi setiap pengikut Kristus.
Batasan ini mencakup penjelasan bahwa gaya hidup percabulan, perzinahan, dan
hubungan homoseksual adalah dosa dan akan mendatangkan hukuman Tuhan. Saya
pernah mendengar seseorang mengatakan, “Jika Yesus memang menentang
homoseksual, Dia pasti mengatakannya.”
Namun sebagai seorang Yahudi, Yesus kala
itu melayani kaum Yahudi secara khusus. Kaum Yahudi mungkin saling bertentangan
secara teologis satu sama lain mengenai isu tertentu, namun tidak dengan isu
homoseksual. Baik di kitab Kejadian maupun dalam hukum-hukum Musa telah
dinyatakan dengan sungguh jelas bahwa homoseksualitas dilarang. Jadi, Yesus
tidak perlu menerangkannya lebih lanjut dalam pelayanan-Nya kala itu. Namun
demikian, ketika Injil tersebar dari kaum Yahudi kepada orang non-Yahudi, Tuhan
memakai Rasul Paulus untuk menjelaskan isu ini lebih mendalam karena penjelasan
semacam itu benar-benar diperlukan di tengah berbagai kebudayaan dimana Injil
dibagikan. Kebenaran-kebenaran tersebut tertulis dengan jelas di Alkitab, dan
tidak ada satupun cara yang masuk akal untuk menginterpretasikan atau
menerjemahkan kebenaran-kebenaran itu di luar dari yang sudah tertulis. Namun
dalam kebudayaan saat ini, orang Kristen seringkali dipersalahkan karena dengan
terang-terangan menolak persamaan hak bagi kaum gay dan lesbian yang saling
mencintai, sementara kita yang heteroseksual dilindungi oleh hukum. Kita
dipersalahkan karena dianggap lebih unggul secara moral, dan karena bersikap
menghakimi bahkan membenci. Biarkan
saya jelaskan kebenaran, sebagaimana terdapat di Alkitab.
Saya
tidak percaya bahwa dosa homoseksual lebih buruk daripada dosa-dosa lainnya.
Jika mengatakan bahwa homoseksualitas lebih buruk daripada dosa-dosa lainnya,
maka kita salah paham dengan kekudusan Allah. Dosa adalah dosa. Yesus
mengatakan bahwa sedikit ragi sudah mengkhamirkan seluruh adonan. Oleh karena
itu, jika sedikit saja pelanggaran ‘mengkhamirkan’ hidup kita maka diperlukan
darah Yesus untuk membersihkan kita, sama seperti darah Yesus yang diperlukan
untuk membersihkan dosa-dosa yang tampaknya lebih najis dan kotor. Lalu mengapa
dosa homoseksualitas ini memicu kritik yang begitu tajam dari para pengikut Kristus
terhadap kaum gay dan mereka yang mendukung pernikahan sesama jenis, padahal
kita sendiri adalah orang-orang berdosa yang memerlukan pengampunan dari Yesus?
Jawabannya
adalah, karena ketika hukum menyatakan bahwa pernikahan sesama jenis setara
dengan pernikahan heteroseksual, dosa homoseksualitas ini pun memiliki kekuatan
untuk mendefinisikan ulang arti pernikahan dan keluarga sehingga menjauh dari
Cetak Biru Sang Pencipta yang sedianya membawa kehidupan dan damai sejahtera.
Legalisasi pernikahan sesama jenis memiliki daya untuk memicu moralitas
alternatif dan relative. Relativisme tersebut membawa rasa bingung di
mana tadinya sangat jelas kebenarannya.
Ketamakan
adalah dosa, namun ketamakan tidak punya daya untuk mengubah definsi moralitas.
Kesombongan adalah dosa yang parah, namun tidak bisa diukur atau dibawa ke
ranah hukum. Kekerasan dalam rumah tangga atau perceraian atau perzinahan
merupakan dosa, namun tak satupun dari antaranya yang lebih besar ataupun lebih
kecil daripada dosa homoseksualitas. Namun demikian, kesetaraan antara
pernikahan sesama jenis dan pernikahan heteroseksual tidak sama dengan
homoseksualitas. ‘Pernikahan sesama jenis’ bukan hanya sekedar keterlibatan
individual dalam sebuah praktek berdosa, tetapi berubah menjadi lokomotif
sosial yang mengendalikan semua bentuk kebudayaan dan hukum demi mencapai
‘kesetaraan’ tersebut. Namun, agar sampai pada tujuan yang sukar dicapai
ini, pernikahan sesama jenis harus dengan sendirinya berusaha untuk
mendefinisikan ulang atau menata ulang moralitas, keluarga, dan pernikahan. Hal
ini akan terjadi terlepas dari ketulusan dan niat baik beberapa orang gay
dan/atau pendukung non-gay yang terlibat dalam gerakan ini.
Memang
benar bahwa di sepanjang sejarah sudah ada tindakan tercela dan penuh kebencian
yang ditujukan kepada kaum gay di lingkungan masyarakat dan gereja yang
dilandasi oleh berbagai alasan. Seringkali Gereja menyikapi isu ini dengan
kemarahan, kebencian, penghakiman, protes dan sejumlah ekspresi lainnya yang
seharusnya tak perlu terjadi. Namun demikian, ketidakadilan yang dirasakan
sejumlah kaum LGBT tidak dapat membenarkan apa yang sudah jelas-jelas salah dan
berdosa. Kebenaran tidak perlu menyesuaikan dirinya untuk bisa diterima oleh
kebudayaan kontemporer. Kebenaran itu konsisten dari waktu ke waktu; kebenaran
adalah kebenaran atau tidak sama sekali. Kesalahan dan dosa yang dilakukan
gereja maupun orang percaya pada Kristus tidaklah membuat kebenaran Alkitab
berkurang atau merusak Cetak Biru Sang Pencipta mengenai pernikahan. Sama
sekali tidak. Homoseksualitas tetaplah dosa, dan pernikahan sesama jenis
tetaplah kesalahan besar meskipun gereja gagal menghidupi kebenaran Alkitabiah
sebagai komunitas orang percaya. Orang Kristen seringkali dicela karena tingkat
perceraian yang terjadi di antara pasangan heteroseksual di AS.
Namun demikian,
tingkat perceraian tidak membatalkan rencana Allah atau menyebabkan pernikahan
heteroseksual tidak berlaku…hanya saja menjadi kurang dihargai. Memang benar
bahwa banyak orang Kristen yang telah berdosa karena melupakan sumpah dan janji
yang diucapkan di altar di hadapan banyak saksi. Tapi bukan berarti
homoseksualitas, pernikahan sesama jenis atau dosa lainnya menjadi benar karena
hal tersebut—dan bukan berarti ini menjadi alasan untuk mengesahkan kesetaraan
yang dituntut kaum LGBT. Dengan kata lain, gagalnya orang Kristen di masa
kini untuk menjadi pengikut Yesus Kristus yang radikal dan gagalnya para suami
untuk mengasihi istri mereka sebagaimana Kristus mengasihi gereja tidak akan mengubah
nilai dan kebenaran cetak biru Allah yang tak tergantikan untuk kehidupan dan
keluarga. Kondisi ini hanya menjadi sinyal akan pentingnya generasi umat
percaya di masa kini untuk mencari Tuhan dengan segenap hati mereka dan
bertobat dari jalan mereka yang jahat.
Setelah
mendapat pengakuan, kesetaraan, dan pengesahan, pernikahan sesama jenis
kini bagaikan kuda Troya yang akan membawa begitu banyak serangan-serangan
menghancurkan bagi masyarakat. Pikirkan bagaimana anak-anak mulai diajari
tentang hubungan gay dan lesbian di tahun-tahun pertama mereka di sekolah, atau
anak-anak kecil mulai belajar tentang ketidakstabilan gender (gender
fluidity) sebagai mata pelajaran wajib dalam sistem pendidikan. Suatu hari
nanti Obamacare atau ‘sistem kesehatan nasional’ lainnya di dunia dapat
diwajibkan untuk membiayai operasi yang ‘diperlukan’ untuk menghantar seseorang
agar bergerak dari “Gender Recognition” (mengenal gender pribadinya)
menjadi “Gender Realization”(menggapai gender yang diidamkan). Tak lama lagi,
kemungkinan kita akan melihat lembaga penelitian medis mulai meneliti cara
untuk memasukkan gen dua laki-laki atau dua perempuan ke dalam embryo seorang
anak, sehingga anak itu akan tampak seperti dari gabungan dua ayah, atau dua
ibu.
Setelah
mengetahui rekam jejak kaum LGBT dalam memperjuangkan kesetaraan mereka,
bagaimana mereka akan mulai menyerang perbedaan pendapat yang disuarakan
Gereja, yang mengatakan bahwa homoseksualitas adalah dosa dan pernikahan sesama
jenis adalah bencana? Ini merupakan usaha selanjutnya yang akan dilakukan
“mesin kesetaraan” LGBT, dimana gereja akan dianggap sesat oleh mereka; bahkan
gereja akan dinilai sebagai ancaman yang perlu disingkirkan dari kehidupan
masyarakat karena telah menentang homoseksualitas tanpa kompromi.
Sangat
penting agar kita tidak meninggalkan Cetak Biru Sang Pencipta mengenai
seksualitas, pernikahan, dan keluarga meskipun dengan tujuan untuk meladeni
perasaan dan kebaikan atau ketulusan hati yang kita temukan dalam diri kaum
LGBT. Kita percaya bahwa pernikahan adalah sakramen yang alkitabiah dan kudus
di hadapan Tuhan, dan Alkitab memberikan kita penunjuk arah moral yang jelas;
mana yang benar dan mana yang salah. Oleh sebab itu, mendukung gerakan mereka,
menghadiri pernikahan gay, menerima dan mendukung keluarga atau sahabat kita
yang gay agar mereka terus menjalani gaya hidup tersebut adalah sama dengan
melepaskan tanggung jawab kita untuk berdiri di atas kebenaran dan fondasi
tegas yang dibangun Sang Pencipta mengenai kehidupan dan keluarga. Hal itu juga
sama dengan kegagalan kita dalam mendidik anak-anak kita di dalam jalan Tuhan
supaya mereka mengikuti jalan-Nya dan hidup berkenan pada Tuhan setelah dewasa
nanti.
Saat
ini, lebih daripada sebelumnya,
gereja harus mengambil sikap yang radikal,
penuh kasih, dan tanpa kompromi.
Kita harus menyatakan dengan jelas bahwa Cetak
Biru Sang Pencipta untuk kehidupan, keluarga, dan seks adalah kebenaran, adalah
tepat, tidak dapat dinegosiasi, dan merupakan nilai tak tergantikan di dalam
hidup setiap pengikut Yesus Kristus.
By:
Mark McClendon
Sumber: jawaban.com